Software Islam

Mau belajar KITAB KUNING sendiri dirumah, mau sofeware kitab kuning GRATIS !..download aja di. www.shamela.ws berisi 3.2 Giga yang berisi ribuan kitab klasik maupun kontemporer,tafsir alquran, hadis bukhori muslim dll. atau jika anda kesulitan download pesan aja hanya 50 ribu sudah ongkos kirim seluruh indonesia DVD.HUb. Sunyono Hp : 0856 553 874 38 telp/sms. Mail : sunnysby@gmail.com
>>>KUMPULAN KITAB ISLAM LENGKAP

Solusi verifikasi PayPal dengan VCC murah Indonesia expired 1 tahun

Jumat, 18 Desember 2009

Sistem Sosial Islam dan Pelaksanaannya

Sistem Sosial Islam dan Pelaksanaannya
Teori Asas
Manusia berasal daripada keturunan yang satu iaiatu Adam. كل من اّدم واّدم من تراب
• Pasangannya Hawa dicipta kemudian berkembang biak sebagai umat dan bahasa yang satu.

• Berkembang ke seluruh pelusuk dunia. Berpecah menjadi pelbagai bangsa, warna kulit dan bahasa. Keadaan geografi dan iklim mempengaruhi warna kulit dan rupa.
وَمِنْ ءَايَاتِهِ خَلْقُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافُ أَلْسِنَتِكُمْ وَأَلْوَانِكُمْ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِلْعَالِمِينَ(22)

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.” (Ar-Rum: 22)
• Islam mengakui atau mengiktiraf hakikat perbezaan dan tidak menghapusnya.
• Perbezaan membawa manfaat iaitu dapat berkenal-kenalan.

يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ(13)

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Al-Hujurat: 13)

• Islam menolak aliran fanatik atau ta’asub terhadap bangsa, bahasa, kaum dan warna kulit.

• Islam menganggap semuanya sama taraf sama ada tua atau muda, miskin atau kaya, lelaki atau perempuan, dsb.

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
لا فضل لعربي على عجمي إلا بالتقوى
• Perbezaan hakiki bukan berdasar keturunan, warna kulit, tanahair dan bahasa tetapi di atas fikrah, aqidah, akhlaq dan matlamat hidup.
• Di atas inilah Islam mengujudkan masyarakat dunia (global)

Kesan Pelaksanaan Teori Ini
• Setiap orang yang mempunyai fikrah dan aqidah yang sama adalah ahli masyarakat Islam.

• Semuanya mempunyai hak yang sama dan tidak boleh dicabul.
• Tiada yang menjadi mulia dan hina kerana keturunan, pangkat dan harta.
• Yang mulia dan terhormat ialah yang berakhlaq mulia dan bertaqwa.
Contoh: Dua beradik di atas jalan yang berbeza kerana fikrah dan aqidah yang berlainan, tetapi orang yang tanpa ikatan persaudaraan berada di atas jalan yang sama kerana fikrah dan aqidah yang sama. Contoh Nabi Nuh dengan anak dan isterinya, Nabi Lut dengan isterinya, Habil dan Qabil.

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ(51)

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (Al-Maidah: 51)

الْمُنَافِقُونَ وَالْمُنَافِقَاتُ بَعْضُهُمْ مِنْ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمُنْكَرِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمَعْرُوفِ وَيَقْبِضُونَ أَيْدِيَهُمْ نَسُوا اللَّهَ فَنَسِيَهُمْ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ هُمُ الْفَاسِقُونَ(67)

“Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan, sebagian dengan sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh membuat yang munkar dan melarang berbuat yang ma`ruf dan mereka menggenggamkan tangannya. Mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka. Sesungguhnya orang-orang munafik itulah orang-orang yang fasik.” (At-Taubah: 67)

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ(71)
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma`ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan mereka ta`at kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah;
sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (At-Taubah: 71)

• Islam tidak menzalimi mereka yang tidak diikat dengan ikatan aqidah kerana mereka masih mempunyai hak-hak kemasyarakatan dan kekeluargaan yang perlu ditunaikan.

وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ(15)
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Luqman: 15)

Teori Perubahan Sosial

Teori Perubahan Sosial
Perspektif Teori tentang Perubahan Sosial; Struktural Fungsional dan Psikologi Sosial

Perkembangan masyarakat seringkali dianalogikan seperti halnya proses evolusi. suatu proses perubahan yang berlangsung sangat lambat.
Pemikiran ini sangat dipengaruhi oleh hasil-hasil penemuan ilmu biologi, yang memang telah berkembang dengan pesatnya. Peletak dasar pemikiran perubahan sosial sebagai suatu bentuk “evolusi” antara lain Herbert Spencer dan Augus Comte.

Keduanya memiliki pandangan tentang perubahan yang terjadi pada suatu masyarakat dalam bentuk perkembangan yang linear menuju ke arah yang positif. Perubahan sosial menurut pandangan mereka berjalan lambat namun menuju suatu bentuk “kesempurnaan” masyarakat.

Pemikiran Spencer sangat dipengaruhi oleh ahli biologi pencetus ide evolusi sebagai proses seleksi alam, Charles Darwin, dengan menunjukkan bahwa perubahan sosial juga adalah proses seleksi. Masyarakat berkembang dengan paradigma Darwinian:

ada proses seleksi di dalam masyarakat kita atas individu-individunya. Spencer menganalogikan masyarakat sebagai layaknya perkembangan mahkluk hidup. Manusia dan masyarakat termasuk didalamnya kebudayaan mengalami perkembangan secara bertahap. Mula-mula berasal dari bentuk yang sederhana kemudian berkembang dalam bentuk yang lebih kompleks menuju tahap akhir yang sempurna.

Seperti halnya Spencer, pemikiran Comte sangat dipengaruhi oleh pemikiran ilmu alam. Pemikiran Comte yang dikenal dengan aliran positivisme, memandang bahwa masyarakat harus menjalani berbagai tahap evolusi yang pada masing-masing tahap tersebut dihubungkan dengan pola pemikiran tertentu. Selanjutnya Comte menjelaskan bahwa setiap kemunculan tahap baru akan diawali dengan pertentangan antara pemikiran tradisional dan pemikiran yang berdifat progresif. Sebagaimana Spencer yang menggunakan analogi perkembangan mahkluk hidup, Comte menyatakan bahwa dengan adanya pembagian kerja, masyarakat akan menjadi semakin kompleks, terdeferiansi dan terspesialisasi.

Berbeda dengan Spencer dan Comte yang menggunakan konsepsi optimisme, Oswald Spengler cenderung ke arah pesimisme. Menurut Spengler, kehidupan manusia pada dasarnya merupakan suatu rangkaian yang tidak pernah berakhir dengan pasang surut. seperti halnya kehidupan organisme yang mempunyai suatu siklus mulai dari kelahiran, masa anak-anak, dewasa, masa tua dan kematian. Perkembangan pada masyarakat merupakan siklus yang terus akan berulang dan tidak berarti kumulatif.

Teori-teori terus berkembang dengan pesatnya. Talcott Parsons melahirkan teori fungsional tentang perubahan. Seperti para pendahulunya, Parsons juga menganalogikan perubahan sosial pada masyarakat seperti halnya pertumbuhan pada mahkluk hidup. Komponen utama pemikiran Parsons adalah adanya proses diferensiasi.

Parsons berasumsi bahwa setiap masyarakat tersusun dari sekumpulan subsistem yang berbeda berdasarkan strukturnya maupun berdasarkan makna fungsionalnya bagi masyarakat yang lebih luas. Ketika masyarakat berubah, umumnya masyarakat tersebut akan tumbuh dengan kemampuan yang lebih baik untuk menanggulangi permasalahan hidupnya. Dapat dikatakan Parsons termasuk dalam golongan yang memandang optimis sebuah proses perubahan.

Bahasan tentang struktural fungsional Parsons ini akan diawali dengan empat fungsi yang penting untuk semua sistem tindakan. Suatu fungsu adalah kumpulan kegiatan yang ditujukan pada pemenuhan kebutuhan tertentu atau kebutuhan sistem. Parsons menyampaikan empat fungsi yang harus dimiliki oleh sebuah sistem agar mampu bertahan, yaitu :

1. Adaptasi, sebuah sistem hatus mampu menanggulangu situasi eksternal yang gawat. Sistem harus dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan.
2. Pencapaian, sebuah sistem harus mendefinisikan dan mencapai tujuan utamanya.
3. Integrasi, sebuah sistem harus mengatur hubungan antar bagian yang menjadi komponennya. Sistem juga harus dapat mengelola hubungan antara ketiga fungsi penting lainnya.

4. Pemeliharaan pola, sebuah sistem harus melengkapi, memelihara dan memperbaiki motivasi individual maupun pola-pola kultural yang menciptakan dan menopang motivasi.

Francesca Cancian memberikan sumbangan pemikiran bahwa sistem sosial merupakan sebuah model dengan persamaan tertentu. Analogi yang dikembangkan didasarkan pula oleh ilmu alam, sesuatu yang sama dengan para pendahulunya.

Model ini mempunyai beberapa variabel yang membentuk sebuah fungsi. Penggunaan model sederhana ini tidak akan mampu memprediksi perubahan atau keseimbangan yang akan terjadi, kecuali kita dapat mengetahui sebagaian variabel pada masa depan. Dalam sebuah sistem yang deterministik, seperti yang disampaikan oleh Nagel, keadaan dari sebuah sistem pada suatu waktu tertentu merupakan fungsi dari keadaan tersebut beberapa waktu lampau.

Teori struktural fungsional mengansumsikan bahwa masyarakat merupakan sebuah sistem yang terdiri dari berbagai bagian atau subsistem yang saling berhubungan. Bagian-bagian tersebut berfungsi dalam segala kegiatan yang dapat meningkatkan kelangsungan hidup dari sistem. Fokus utama dari berbagai pemikir teori fungsionalisme adalah untuk mendefinisikan kegiatan yang dibutuhkan untuk menjaga kelangsungan hidup sistem sosial. Terdapat beberapa bagian dari sistem sosial yang perlu dijadikan fokus perhatian, antara lain ; faktor individu, proses sosialisasi, sistem ekonomi, pembagian kerja dan nilai atau norma yang berlaku.

Pemikir fungsionalis menegaskan bahwa perubahan diawali oleh tekanan-tekanan kemudian terjadi integrasi dan berakhir pada titik keseimbangan yang selalu berlangsung tidak sempurna. Artinya teori ini melihat adanya ketidakseimbangan yang abadi yang akan berlangsung seperti sebuah siklus untuk mewujudkan keseimbangan baru. Variabel yang menjadi perhatian teori ini adalah struktur sosial serta berbagai dinamikanya. Penyebab perubahan dapat berasal dari dalam maupun dari luar sistem sosial.

Sabtu, 12 Desember 2009

Pemanasan Global

Pemanasan Global
Dampak Perubahan Iklim Pada Kehidupan
Pengantar
Buku kecil ini dimaksudkan untuk memberikan informasi yang gamblang mengenai Perubahan Iklim dan Pemanasan Global; juga dimaksudkan untuk menyampaikan masalah tersebut kepada anda baik di tingkat lokal, regional maupun nasional. Diharapkan bahwa buku kecil ini membantu anda untuk memahami dengan lebih baik kompklexitas permasalahan tersebut dan perlunya tindakan nyata untuk menyelamatkan planet kita ini.

Kami menyertakan juga sejumlah sumber dari Kitab Suci dan Teologi untuk digunakan dalam kelompok kerja dan komunitas serta sejumlah sumber lain demi pendidikan dan pembinaan lanjutan anda sendiri. Buku kecil ini bukanlah suatu jawaban tuntas atas seluruh permasalahan Perubahan Iklim dan Pemanasan Global, tetapi baiklah menggunakannya untuk mengetahui ke mana anda mencari informasi agar selangkah demi selangkah maju untuk mengatasi permasalahan tersebut.

Buku kecil ini akan berupaya menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut:

Apa itu pemanasan global dan perubahan iklim?
Apa saja penyebab dari pemanasan global:

• Apa akibatnya bagi keadilan sosial?
• Apa dampaknya?
Mengapa kaum religius harus memperhatikannya dan terlibat?
Apa yang dikatakan iman kita berkaitan dengan lingkungan hidup?
Apa yang dapat kita kerjakan sekarang?
Apa itu perubahan iklim dan pemanasan global?
Komposisi kimiawi dari atmosfer sedang mengalami perubahan sejalan dengan penambahan gas rumah kaca – terutama karbon dioksida, metan dan asam nitrat. Kasiat menyaring panas dari gas tersebut tidak berfungsi.

Energi dari matahari memacu cuaca dan iklim bumi serta memanasi permukaan bumi; sebaliknya bumi mengembalikan energi tersebut ke angkasa. Gas rumah kaca pada atomsfer (uap air, karbon dioksida dan gas lainnya) menyaring sejumlah energi yang dipancarkan, menahan panas seperti rumah kaca. Tanpa efek rumah kaca natural ini maka suhu akan lebih rendah dari yang ada sekarang dan kehidupan seperti yang ada sekarang tidak mungkin ada. Jadi gas rumah kaca
menyebabkan suhu udara di permukaan bumi menjadi lebih nyaman sekitar 60°F/15°C.

Tetapi permasalahan akan muncul ketika terjadi konsentrai gas rumah kaca pada atmosfer bertambah. Sejak awal revolusi industri, konsentrasi karbon dioksida pada atmosfer bertambah mendekati 30%, konsetrasi metan lebih dari dua kali, konsentrasi asam nitrat bertambah 15%.

Penambahan tersebut telah meningkatkan kemampuan menjaring panas pada atmosfer bumi. Mengapa konsentrasi gas rumah kaca bertambah? Para ilmuwan umumnya percaya bahwa pembakaran bahan bakar fosil dan kegiatan manusia lainnya merupakan penyebab utama dari bertambahnya konsentrasi karbon dioksida dan gas rumah kaca.

• Perubahan Iklim merupakan tantangan yang paling serius yang dihadapi dunia di abad 21.
• Sejumlah bukti baru dan kuat yang muncul dalam setudi mutakhir memperlihatkan bahwa masalah pemanasan yang terjadi 50 tahun terakhir disebabkan oleh tindakan manusia.

• Pemasan global di masa depan lebih besar dari yang diduga sebelumnya.

Sebagian besar setudi tentang perubahan iklim sepakat bahwa sekarang kita menghadapi bertambahanya suhu global yang tidak dapat dicegah lagi dan bahwa perubahan iklim mungkin sudah terjadi sekarang. Pada bulan Desember 1977 dan Desember 2000, Panel Antar Pemerintah Mengenai Perubahan Iklim, badan yang terdiri dari 2000 ilmuwan, mengajukan sejumlah pandangan mengenai realitas sekarang ini:

• Bencana-bencana alam yang lebih sering dan dahsyat seperti gempa bumi, banjir, angin topan, siklon dan kekeringan akan terus terjadi. Bencana badai besar terjadi empat kali lebih besar sejak tahun 1960.

• Suhu global meningkat sekitar 5 derajat C (10 derajat F) sampai abad berikut, tetapi di sejumlah tempat dapat lebih tinggi dari itu. Permukaan es di kutub utara makin tipis.

• Penggundulan hutan, yang melepaskan karbon dari pohon-pohon, juga menghilangkan kemampuan untuk menyerap karbon. 20% emisi karbon disebabkan oleh tindakan manusia dan memacu perubahan ilim.

• Sejak Perang Dunia II jumlah kendaraan motor di dunia bertambah dari 40 juta menjadi 680 juta; kendaraan motor termasuk merupakan produk manusia yang menyebabkan adanya emisi carbon dioksida pada atmosfer.

• Selama 50 tahun kita telah menggunakan sekurang-kurangnya setengah dari sumber energi yang tidak dapat dipulihkan dan telah merusak 50% dari hutan dunia.

Senin, 07 Desember 2009

Emansipasi Perempuan

Luce Irigaray, dan Basis Emansipasi Perempuan

“And all the egalitarian slogans keep pushing us further back.

In my opinion, all those slogans simply promote a totalitarian ideology”,

Luce Irigaray

Pengantar

Luce Irigaray (1932-…) adalah seorang feminis Perancis yang unik. Dia termasuk pembawa gerakan feminisme generasi kedua yang tidak sekadar mempertanyakan ketidaksetaraan sosial yang dialami keum perempuan, melainkan mengamati struktur ideologis yang sudah tertanam lama dan membuat perempuan berada dalam posisi yang tidak menguntungkan dibandingkan laki-laki.

Keunikan yang segera tampak setelah membaca karyanya adalah bahwa baginya yang esensial dalam perjuangan pembebasan perempuan bukanlah menuntut kesetaraan, melainkan dengan membangun budaya perempuan-lelaki yang menghargai perbedaan antara kedua jenis kelamin. Dan oleh karenanya untuk mencapai cita-citanya itu, Irigaray menegaskan bahwa emansipasi perempuan hanya bisa diwujudkan dengan suatu “teori tentang gender yang berlandaskan jenis kelamin dan penulisan kembali kewajiban dan hak setiap jenis kelamin, sebagai dua unsur yang berbeda dalam kewajiban dan hak sosial”.[1] Dengan ini dia bermaksud menawarkan suatu upaya untuk membangun budaya perempuan-lelaki yang menghargai perbedaan antara kedua jenis kelamin.

Irigaray adalah ahli linguistik, sekaligus seorang filsuf. Ia dengan gemilang juga memanfaatkan capaian-capaian psikoanalisis dalam kajian filsafat dan pengandaian-pengadaian teoritiknya, terutama guna menyingkap sistem-sistem patriarkal yang membelenggu dan membungkam suara kaum perempuan.

Dalam tulisan ini, saya hendak menguraikan beberapa bagian dari gagasan Irigaray terutama kritiknya pada dasar-dasar sistem patriarkal. Lalu dilanjutkan dengan usaha besar Irigaray untuk mengembalikan identitas dan subjektifitas perempuan,dan bagian berikutnya akan ditunjukkan kritik dan kesimpulan.

Membongkar Budaya Patriarki

Dalam karyanya Speculum of the Other Woman, Irigaray berusaha mengembangkan tulisan yang khas feminis yang menyerang mitos dan hegemoni pemikiran kaum lelaki yang hadir dalam tradisi filosofis Barat dan disiplin kajian psikoanalisis, yang telah berperan besar terhadap pembungkaman suara kaum perempuan.[2]

Luce Irigaray mengritik rasio pencerahan. Menurutnya rasionalitas pencerahan tidak berlaku bagi perempuan karena ia meremehkan elemen-elemen non-rasional dalam pikiran manusia, demikian juga kehendaknya untuk berkuasa, mengontrol, memanipulasi dan menghancurkan atas nama yang rasional itu. Cara berpikir Pencerahan bersifat khas laki-laki. Kritik terhadap rasionalitas yang bersifat laki-laki ini, bagi Irigaray, sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengunggulkan irasionalitas perempuan. Melainkan semata hendak menunjukkan bahwa rasionalitas itu memiliki struktur tertentu, yakni prinsip identitas, prinsip nonkontradiksi (A adalah A, A bukan B) yang menyingkirkan ambiguitas dan ambivalensi, dan binerisme (oposisi alam/rasio, subjek/objek)

Jika rasio pencerahan mendapat kritik yang mendasar, Irigaray lebih jauh berusaha membongkar dasar hegemoni patriarki yang terbangun dalam tradisi budaya Barat beserta mitos-mitos yang berdiri di belakangnya. Untuk tujuan ini Irigaray berhutang budi pada konsep seksualitas Freud yang menyatakan bahwa dorongan seksualitaslah yang mempengaruhi kehidupan intelektual dan kultural manusia.[3]

Teori dasar Freud mengenai perempuan setidaknya tergambar dalam konsep katrasi atau pengebirian. Menurut Freud, bagian terpenting dari perkembangan seksual lelaki dan perempuan adalah ada tidaknya penis pada mereka. Kaum perempuan merasa sebagai manusia yang tidak lengkap dan selalu merasa kurang karena tidak memiliki penis, oleh sebab itu merasa dikebiri. Dan oleh karena itu pula mereka selalu merasa inferior. Bagi kaum Freudian status nomor dua yang ditujukan kepada kaum perempuan tidak bisa dihindari karena perempuan kekurangan organ penis yang menyimbolkan kesuperioritasan dan keotoritasan.

Selain melalui Freud, Irigaray juga memanfaatkan gagasan Lacan untuk mengritik, melawan dan mengajukan penjelasan psikoanalisis pada bias teoritis dalam kajian psikoanalisis. Berdasarkan konsep Lacan tentang Yang Real, Yang Simbolik, dan Yang Imajiner[4], Irigaray menganalisis bahwa tatanan simbolik Lacan, yakni kondisi bahasa, pada dasarnya bersifat maskulin dan patriarkal: yakni bahwa tatanan ini hanya mengartikulasikan pemikiran imajiner kaum lelaki dan, tatanan tersusun menurut hukum dan tatanan simbolik yang bersifat merangkum dan mendasarinya.

Sehingga apapun yang berada di luar tatanan simbolik itu harus diterjemahkan agar sesuai dengan tatanan bahasa itu. Dalam konteks ini, karena tatanan simbolik sepenuhnya falik, maka ruang artikulasi bahasa perempuan menjadi teredam, dan tidak ada pilihan bagi perempuan kecuali berbicara dan berkomunikasi kecuali dengan cara menyesuaikan diri dengan bahasa patriarkal.[5]

Melalui psikoanalisis Freud dan Lacan inilah Irigaray tampaknya disadarkan bahwa konsep-konsep yang dibangun psikoanalisis, dan juga filsafat, telah dibangun oleh tokoh-tokohnya dengan bahasa dan cara pandangan kaum lelaki, dan karenanya sepenuhnya berbias maskulin. Lebih jauh Irigaray dalam satu gebrakan sesungguhnya juga mengkritik kategori-kategori Marxis dan sekaligus menegaskan bahwa keterpinggiran perempuan tidak semata-mata akibat dari hubungan produksi dalam ekonomi, melainkan juga disebabkan oleh keterpinggiran dalam tatanan dan hubungan-hubungan simbolik. Justeru melalui tatanan simbolik dan bahasa yang sepenuhnya phallocratic inilah, drama tentang kepenuhan yang maskulin dan kekurangan yang feminin ini beroperasi.

Irigaray menulis,


“Perbedaan seksual bukan sekadar data alami, ekstra bahasa. Perbedaan itu mempengaruhi bahasa dan bahasa mempengaruhnya….. perbedaan itu terletak di pertemuan alam dan kebudayaan. Namun peradaban patriarkal menurunkan nilai feminin sedemikian rupa sehingga realitas dan deskripsinya tentang dunia keliru. Maka alih-alih tetap merupakan gender yang berbeda, dalam bahasa kita feminin menjadi bukan-maskulin, artinya suatu realitas abstrak yang tidak hadir.”[6]

Pandangan dunia Barat yang phallocratic dan monoseksual telah mendefinisikan status perempuan sebagai laki-laki yang tidak utuh, sebagai yang “bukan maskulin”. Dampaknya adalah sarana komunikasi sosial juga didominasi oleh bahasa falik. Dan dalam sistem patriarki sesungguhnya perempuan mengalami keterbungkaman oleh suatu bahasa falik yang cenderung merendahkan dan meletakkan perempuan sebagai objek dalam hubungannya dengan subjek maskulin. Dan pada akhirnya struktur bahasa yang falik, menurut Irigaray, berperan besar menenggelamkan eksistensi dan identitas perempuan.

Sebagai seorang ahli lingustik, Irigaray membuat kajian mendalam terhadap bahasa dan ia menggarisbawahi bahwa kebudayaan patriarkal terwujud pada sistem batin bahasa.

Menurut Irigaray, adanya perbedaan gender gramatikal bukan tanpa alasan dan semena-mena, melainkan memiliki alasan semantik. Dan pemisahan pemaknaannya pun berkaitan dengan pengalaman inderawi dan kebertubuhan, dan bahwa pemisahan itu berubah sesuai dengan waktu dan tempat. Perbedaan seksual, misalnya, menentukan sistem pronomina, ajektiva posesif, juga gender kata dan pengelompokannya dalam kategori gramatikal: hidup/tak hidup, konkrit/abstrak, maskulin/feminin, dan seterusnya. Lebih lanjut dalam konteks budaya patriarki, kaum lelaki selalu berusaha mempertahankan kekuasaannya dengan cara merepresentasikan segala sesuatu yang bernilai sesuai dengan citra dan gender gramatikalnya sebagai maskulin.[7] Ini terlihat dari pengelompokan kata bergender bahwa apa yang bernilai adalah maskulin, sedangkan yang tidak bernilai adalah feminin. Demikian juga pada matahari dilektkan gender maskulin, bulan bergender feminin; langit adalah laki-laki, sedangkan bumi adalah saudara perempuannya.

Membangun Budaya Baru


“Pokoknya kebutuhan kita pertama-tama atau yang harus dipenuhi adalah hak memiliki harkat manusiawi bagi semua orang. Itu berarti sebuah hak yang mengunggulkan perbedaan… Suatu keadilan sosial, khususnya keadilan seksual hanya dapat diwujudkan jika ada perubahan kaidah bahasa dan konsepsi mengenai kebenaran serta nilai-nilai yang mengatur tatatanan masyarakat.”[8]

1. Transformasi Bahasa


Dalam tradisi Barat kondisi feminin masyarakat diredam dan disingkirkan. Kaum perempuan tidak memiliki sarana-sarana simbolik yang memungkinkan mereka mengembangkan suatu bentuk komunikasi dan cara wicara yang bisa membentuk identitas dan subjektifitas mereka. Oleh karena itu untuk keluar dari penjara bahasa patriarki, menurut Irigaray kaum perempuan memerlukan sarana simboliknya sendiri, yakni rumah bahasa yang memungkinkan mereka tumbuh dan berkembang. Irigaray secara tegas menyatakan bahwa “keniscayaan kebahasaan menentukan gerakan pembebasan”.[9]

Irigaray menegaskan bahwa pembebasan berbasis gender mustahil bisa dilakukan tanpa tanpa perubahan kaidah bahasa yang berkaitan dengan gender gramatikal. Mengapa? Karena bahasa adalah alat untuk memproduksi makna. Bahasa juga berperan membangun bentuk-bentuk mediasi sosial dari hubungan interpersonal hingga dalam relasi-relasi politik. Sehingga ketika hegemoni dan penghapusan subjek dan identitas perempuan berlangsung dan bekerja pada ranah simbolik, maka pembebasan perempuan melalui transformasi bahasa menjadi keniscayaan utama.

Pembebasan subjek perempuan ini harus dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa strategi, yakni kaidah bahasa baru tersebut diciptakan berdasarkan prinsip perbedaan seksual. Bagi Irigaray hal ini sangat penting karena bahasa sesungguhnya adalah alat bertukar dan berkomunikasi antar dua pihak yang hidup di dunia dengan perbedaan jenis kelamin. Dan kaidah bahasa baru ini pertama-tama diharapkan mampu menyeimbangkan hubungan di antara dua jenis kelamin baik dalam bahasa itu sendiri maupun dalam kehidupan masyarakat dan kebudayaan, sehingga pada akhirnya kaum perempuan mampu menemukan dirinya kembali sebagai subjek.

2. Etika Perbedaan Seksual


Selain strategi linguistik tersebut di atas, Irigaray menekankan pentingnya perbedaan seksual sebagai landasan etis dalam membangun relasi antara laki-laki dan perempuan. Tujuan Irigaray ini tidak lain adalah usaha membangun countersystem yang bersifat khas feminin untuk membuka ruang bangkitnya identitas seksual yang positif bagi perempuan sekaligus membangun relasi subjektif “To Be Two”[10] antara lelaki dan perempuan. Untuk tujuan ini ia memberikan latar argumentasi politis dan juga filosofis, bahkan argumentasi biologis dan pragmatis.

Berbeda dengan gerakan feminis pertama, Irigaray mengajukan konsep perbedaan seksual sebagai basis pembebasan perempuan disebabkan kenyataan realitas konkrit keterpinggiran kaum perempuan, bukan hanya akibat dominasi bahasa patriarkis melainkan juga oleh berbagai slogan yang mengatasnamakan kesetaraan lelaki-perempuan dan slogan kenetralan dalam klausul berbagai konvensi dan perundang-undangan. Menurutnya, slogan-slogan kesetaraan itu sudah menjadi candu masyarakat dan suguhan ilusi bagi kemajuan.

Irigaray menulis,


“And all the egalitarian slogans keep pushing us further back. In my opinion, all those slogans simply promote a totalitarian ideology”[11]

Di dalam kata pengantar edisi Perancis untuk bukunya Thinking the Difference for a Peaceful Revolution, Irigaray nyata-nyata menelanjangi Deklarasi HAM PBB dimana klausul-klausul yang ada di dalamnya dianggapnya telah mengingkari realitas keseharian kaum perempuan. Bukan hanya itu, menurutnya Deklarasi HAM bukanlah poin-poin normatif yang bersifat netral secara ideologis, melainkan sepenuhnya didefinisikan oleh kepentingan kaum lelaki.

Oleh karena itu untuk mempertahankan kepentingan dan melindungi diri dari manipulasi ideologi kesetaraan semacam itu, Irigaray secara politis menekankan pentingnya perbedaan seksual untuk memproteksi identitas kemanusian kedua jenis kelamin itu. Dan atas dasar itu, menurut Irigaray, hak-hak kaum perempuan harus didefinisikan kembali sehingga ia memperoleh hak yang sesuai dengan identitasnya sebagai perempuan. Dengan mendefinisikan hak-hak yang sesuai dengan dua jenis kelamin itu artinya kaum perempuan berupaya menggantikan susunan hak-hak abstrak yang mengandaikan individu-individu yang netral yang sama sebagaimana tertera dalam Deklarasi HAM Internasional. Di antara hak-hak konkrit yang mendukung identitas perempuan dimaksud, misalnya: hak untuk terhindar dari kekerasan fisik dan moral (hak tentang keperawanan dan kesucian pikiran), hak menjadi ibu yang bebas dari pengawasan sipil dan agama, hak terhadap kebudayaan perempuan yang spesifik, dan seterusnya.[12]

Selain upaya politis merumuskan nilai-nilai baru yang mempertimbangkan perbedaan seksual lelaki-perempuan, Irigaray secara fenomenologis juga menawarkan pola relasi baru yang khas feminin antara lelaki dan perempuan. Yakni suatu pola relasi intersubjektif yang menghargai perbedaan jenis kelamin, yang memungkinkan tidak adanya saling mengobjekkan atau saling mendaku antara diri (the self) dan yang lain (the other).

Pola relasi ini dirumuskan Irigaray saat membahas teks dari buku Maurice Merleau-Ponty Phenomenology of Perception tentang “tubuh seksual”.[13] Irigaray mengritik fenomenologi Ponty sebagai fenomenologi pesimistik, karena menurut Ponty, melalui kebertubuhan pola relasi diri dan yang lain (the other) adalah dialektika subjek-objek. Terhadap orang yang lain, saya menjadi subjek bagi diri sendiri dan sekaligus menjadi objek bagi orang lain. Irigaray juga menilai Ponty melupakan fungsi seksualitas sebagai suatu hubungan-dengan (a relationship-to), sekaligus mengabaikan persepsi sebagai sarana untuk menyambut yang lain sebagai yang lain (other).

Padahal melalui persepsi[14], dan bukan melalui sensasi, menurut Irigaray kita bisa melihat, mengenal dan lebih menghormatinya orang lain sebagai subjek, tanpa harus mengurangi nilai diri kita sebagai subjek. Demikian juga dalam relasi kebertubuhan, kita sama sekali bukanlah sosok subjek yang mencari objek dalam diri orang lain. Melainkan kita menyadari adanya relasi dialektik subjektifitas dan objektifitas itu dalam dan bagi diri kita, demikian juga bagi orang lain, tanpa suatu dikotomi subjek-objek. Dalam hubungan ini subjektif ini, masing-masing diri kita saling merawat dan menumbuhkan kejatidirian masing-masing.

Melalui fenomenologi, Irigaray melukiskan etika relasi perbedaan diri dan yang lain (the other) itu sebagai berikut:

Thanks to perception, we can each become, the one for the other, a bridge towards a becoming which is yours, mine, and ours. I can be a bridge for you, as you can be one for me…. I perceive You, I create an idea of you, I preserve you in my memory – in affect, in thought—in order to assist you in your becoming.[15]

Apa yang menarik dari argumentasi politis maupun filosofis yang khas feminin mengenai pentingnya basis perbedaan seksual lelaki-perempuan bagi pembebasan perempuan dalam relasi sosial dan simbolik ini adalah bahwa Irigaray juga menyuguhkan argumentasi yang bersifat biologis sebagai modal argumentasi. Dalam hal ini kajian Irigaray mengenai peran organ plasenta saat kehamilan ibu adalah contoh menarik.

Dalam wawancaranya dengan Helene Rouch, seorang guru biologi di sekolah Colbert, Paris, [16], Irigaray memperoleh insight berharga mengenai keterbukaan relasi yang ditunjukkan antara janin dan plasenta. Rouch menjelaskan, plasenta adalah jaringan yang terbentuk oleh embrio tetapi ia tetap merupakan entitas yang terpisah dan tidak tergantung pada embrio itu. Uniknya plasenta ini memainkan peran mediator pada dua level. Di satu pihak ia menghubungkan antara ibu dan janin, dan dipihak lain ia membentuk sebuah sistem yang mengatur pertukaran (baik berbentuk nutrisi dari ibu ke janin maupun berupa kotoran ke arah sebaliknya) diantara kedua organisme (ibu dan janin). Sehingga dalam hubungan yang kompleks ini, janin berkembang tanpa melemahkan ibu, dan tidak sekadar memasok nutrisi.

Dari penjelasan Helene Rouch ini, Irigaray mengambil titik kesimpulan penting. Plasenta adalah asal usul biologis dari relasi berbasis perbedaan dan penghormatan pada perbedaan. Ini artinya, tubuh perempuan memiliki keunikan yang tidak dimiliki oleh kebudayan (maksudnya: patriarki), berupa mekanisme toleransi terhadap perkembangan tubuh lain dalam dirinya tanpa menjadi penyakit, tanpa penolakan maupun kematian salah satu dari organisme hidup.

Irigaray menegaskan,


“Budaya antarlelaki bergerak terbalik. Artinya, menata diri dengan menyingkirkan dari masyarakatnya sumbangan dari jenis kelamin yang lain. Ketika tubuh perempuan memberi keturunan dengan menghormati perbedaan, kelompok masyarakat patriarkal dibangun secara hierarkis dengan menyingkirkan perbedaan.”[17]

Selain penjelasan biologis di atas, Irigaray juga mengajukan argumen pragmatis. Identitas gender yang dibangun berdasarkan perbedaan jenis kelamin perlu agar spesies manusia lestari, bukan hanya untuk reproduksi melainkan juga untuk kebudayaan dan regenerasi kehidupan.[18]

Catatan Akhir


Gagasan-gagasan Irigaray sebagaimana yang saya tampilkan dalam tulisan ini sangatlah istimewa. Melalui kajian filsafat dan psikoanalisisnya terhadap sejarah dan kesadaran manusia, ia berhasil membongkar sistem patriarki yang tersedimentasi dalam bahasa, masyarakat, dan kebudayaan yang meminggirkan posisi, peran, subjektifitas dan identitas kaum perempuan.

Namun Irigaray sesungguhnya tidak terpaku sampai di situ. Ia juga berusaha mencari jalan keluar agar kaum perempuan menemukan kembali identitas dan subjektivitasnya yang teredam melalui berbagai strategi. Irigaray menawarkan nilai-nilai baru yang digali dari pengalaman tubuh dan kebertubuhan perempuan, seperti: peran plasenta saat kehamilan perempuan, juga dari mitos-mitos sejarah dan simbol-simbol yang bisa mengembalikan subjektifitas perempuan, seperti: bunda Maria yang digendong ibunya, dan juga strategi untuk memutasi kaidah-kaidah bahasa, sistem budaya dan masyarakat.

Bagi Irigaray, karena peminggiran perempuan terjadi karena perbedaan jenis kelamin, maka pembebasannya pun haruslah bertolak dari pembedaan jenis kelamin. Oleh karena itulah, slogan kesetaraan lelaki-perempuan seperti yang disuarakan oleh sebagian kaum feminis harus ditolak sebab bunyi-bunyian itu utopia belaka. Tuntutan itu seperti mimpi saja di siang bolong, bahkan malahan saja tuntutan semacam itu bisa melanggengkan konstruksi sosial dan budaya patriarkal yang sudah terlanjur mendominasi dan menggelamkan identitas dan subjektifitas perempuan.

Namun dari sini untuk sebagian titik tolak perbedaan jenis kelamin ini melahirkan pertanyaan. Seolah-olah Irigaray memandang perbedaan laki-laki dan perempuan itu sebagai realitas yang homogen: lelaki mesti lelaki dan perempuan mestilah perempuan. Sebagaimana juga disinggung John Lechte dan Madan Sarup, secara politis hal ini menimbulkan sikap bahwa seorang laki-laki tidak bisa menjadi feminis. Mustahil ada lelaki feminis! Karena menurut Irigaray, kefemininan seorang lelaki adalah usaha penjajahan kesekian kalinya yang akan mengeluarkan perempuan dari ruang kulturalnya.[19]

Masalah inilah rupanya yang akan menjadi perbincangan hangat dalam untaian gagasan Irigaray. Ia begitu menekankan peran perempuan-sebagai-subjek, sehingga menjadi cara, kalau bukan satu-satunya cara, untuk keluar dari penjara patriarki. Dalam konteks inilah maka rasanya wajar bila perjuangan perempuan hanya mungkin apabila diupayakan oleh kaum perempuan sendiri dengan terlibat langsung dalam proses rekayasa kultural dan politik, demi menghindari bias-bias ideologis yang mungkin dalam proses itu. []

Daftar Pustaka:


Craig, Edward (ed.), Routledge Encyclopedia of Philosophy, Vol. 5, Routledge, London, 1998

Irigaray, Luce, Aku, Kamu, Kita: Belajar Berbeda, (terjemahan dari Je, tu, nous. Pour une culture de la difference), Penerbit KPG, Jakarta, 2005

Irigaray, Luce, To Be Two, The Athlone Press, London and New Brunswick, NJ, 2000

Irigaray, Luce, Thinking the Difference for a Peaceful Revolution, The Athlone Press, London, 1994

Lechte, John, 50 Filsuf Kontemporer: Dari Strukturalisme sampai Poststrukturalisme, (terj.), Penerbit, Kanisius, 2001

Sarup, Madan, Posstrukturalisme dan Posmodernisme: Sebuah Pengantar Kritis, (terj.), Penerbit Jendela, 2003

[1] Luce Irigaray, Aku, Kamu, Kita: Belajar Berbeda, (terjemahan dari Je, tu, nous. Pour une culture de la difference), Penerbit KPG, Jakarta, 2005, hal. 11-13. Menurut Irigaray tuntutan kesetaraan lelaki-perempuan adalah ekspresi kritik budaya yang dangkal, dan sekaligus bersifat utopis. Karena itu berarti menuntut pelenyapan perbedaan jenis kelamin yang sama halnya dengan upaya pembantaian umat manusia. Lagi pula, tuntutan itu hanya melanggengkan konstruksi sosial dan budaya patriarkal saja yang sudah terlanjur meminggirkan dan melenyapkan identitas dan subjektifitas perempuan.

[2] Madan Sarup, Posstrukturalisme dan Posmodernisme: Sebuah Pengantar Kritis, (terj.), Penerbit Jendela, 2003, hal. 204.

[3] John Lechte, 50 Filsuf Kontemporer: Dari Strukturalisme sampai Poststrukturalisme, (terj.), Penerbit, Kanisius, 2001, hal. 248

[4] Menurut Lacan, Yang Real merepresentasikan posisi ibu dan kematian, Yang simbolik sebagai lingkup hukum yang didasarkan pada demi Nama-Bapa, serta Yang Imajiner sebagai akibat dari Yang Simbolik dalam kesadaran dan imajinasi.

[5] John Lechte, Ibid., hal. 248-249

[6] Irigaray, Aku, Kamu, Kita, hal. 21-22

[7] Irigaray, Ibid., hal. 88-89

[8] Irigaray, Ibid., hal. 23-24

[9] Irigaray, Ibid., hal. 41

[10] Frase “To Be Two” merupakan judul salah satu buku Irigaray yang membahas masalah ini, yakni bagaimana membangun sebuah relasi lelaki-perempuan yang bukan saja berniat tanpa melenyapkan identitas dan subjektivitas salah satu dari kedua jenis kelamin, melainkan juga berorientasi saling menumbuhkan, memperkaya dan merawat kehidupan, kebebasan dan identitas masing-masing. Lihat, Luce Irigaray, To Be Two, The Athlone Press, London and New Brunswick, NJ, 2000

[11] Luce Irigaray, Thinking the Difference for a Peaceful Revolution, The Athlone Press, London, 1994, hal.xi. Bandingkan dengan: Luce Irigaray, Aku, Kamu, Kita: Belajar Berbeda, hal. 100

[12] Irigaray, Thinking the Difference, hal. xv-xvi

[13] Irigaray, To Be Two, hal. 20-22

[14] Bagi Irigaray, hanya dengan persepsi kita bisa menghubungkan antara penerimaan kita terhadap yang lain dan intensi kita pada dunia dan realitas lain. Sementara sensasi adalah pengalaman pasif yang membagi intersubjektifitas ke dalam dikotomi subjek dan objek. Bagi Irigaray hubungan yang dibentuk melalui sensai melahirkan intersubjektifitas yang dekaden.

[15] Irigaray, To Be Two, hal. 43

[16] Lihat Luce Irigaray, Aku, Kamu, Kita, hal. 48-50

[17] Irigaray, Ibid., hal. 57.

[18] Irigaray, Ibid., hal. 15 dan 45.

[19] Lihat John Lechte, Op.cit., Hal. 253; lihat juga, Madan Sarup, Op.cit., hal. 212-213

*Sumber : http://nurulhuda.wordpress.com/2006/11/24/irigaray-emansipasi-perempuan-perbedaan-seksual/

Candi Borobudur (Magelang, Jawa Tengah)

Candi Borobudur (Magelang, Jawa Tengah)
Pengantar
Candi Borobudur terletak di Desa Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Candi ini merupakan candi Buddha terbesar kedua setelah Candi Ankor Wat di Kamboja dan termasuk dalam salah satu dari tujuh keajaiban dunia. Ada beberapa versi mengenai asal usul nama candi ini. Versi pertama mengatakan bahwa nama Borobudur berasal dari bahasa Sanskerta yaitu “bara” yang berarti “kompleks candi atau biara” dan “beduhur” yang berarti “tinggi/di atas”.

Versi kedua mengatakan bahwa nama Borobudur kemungkinan berasal dari kata “sambharabudhara” yang berarti “gunung yang lerengnya berteras-teras”. Versi ketiga yang ditafsirkan oleh Prof. Dr. Poerbotjoroko menerangkan bahwa kata Borobudur berasal dari kata “bhoro” yang berarti “biara” atau “asrama” dan “budur” yang berarti “di atas”. Pendapat Poerbotjoroko ini dikuatkan oleh Prof. Dr. W.F. Stutterheim yang berpendapat bahwa Bodorbudur berarti “biara di atas sebuah bukit”.

Sedangkan, versi lainnya lagi yang dikemukakan oleh Prof. J.G. de Casparis berdasarkan prasati Karang Tengah, menyebutkan bahwa Borobudur berasal dari kata “bhumisambharabudhara” yang berarti “tempat pemujaan bagi arwah nenek moyang”.

Masih berdasarkan prasasti Karang Tengah dan ditambah dengan prasasti Kahuluan, J.G. de Casparis dalam disertasinya tahun 1950 mengatakan bahwa Borobudur diperkirakan didirikan oleh Raja Samaratungga dari wangsa Sayilendra sekitar tahun Sangkala rasa sagara kstidhara atau tahun Caka 746 (824 Masehi) dan baru dapat diselesaikan oleh puterinya yang bernama Dyah Ayu Pramodhawardhani pada sekitar tahun 847 Masehi. Pembuatan candi ini menurut prasasti Klurak (784 M) dibantu oleh seorang guru dari Ghandadwipa (Bengalore) bernama Kumaragacya dan seorang pangeran dari Kashmir yang bernama Visvawarma.

Proses Penemuan dan Pemugaran

Candi ini baru ditemukan kembali pada awal abad ke-18 setelah beberapa abad ditinggalkan dan telah tertutup oleh semak belukar. Waktu itu (1814) Gubernur Jenderal Inggris, Sir Thomas Stamford Raffles, menerima laporan tentang keberadaan sebuah bukit yang dipenuhi dengan batu-batu berukir. Raffles kemudian mengutus salah seorang perwiranya yang bernama H.C. Cornelius untuk membersihkan bukit itu. Setelah dibersihkan oleh Cornelius selama dua bulan dengan bantuan sekitar 200 orang penduduk setempat, maka tampaklah bangunan candi yang selama ini telah tertutup oleh semak belukar.

Pada tahun 1825 diadakan pemugaran kembali pada bangunan candi sehingga bentuknya menjadi semakin jelas. Sembilan tahun kemudian, saat Belanda berkuasa, Residen Kedu yang bernama Hatmann membersihkan candi ini lagi. Dan, setelah diadakan tinjauan untuk penelitian lebih lanjut pada tahun 1842, maka pada tahun 1873 monografi pertama tentang Candi Borobudur diterbitkan. Namun sayang, pada tahun 1896 pemerintah Hindia Belanda, melalui Residen Kedu, mengambil beberapa patung Buddha, 30 relief, dua patung singa, tangga dan gerbang dari candi ini untuk dihadiahkan kepada Raja Siam Chulalangkorn. Benda-benda tersebut saat ini tersimpan di Museum Bangkok, Thailand.

Pada tahun 1900 pemerintah Hindia Belanda membentuk sebuah panitia pemugaran dan perawatan Candi Borobudur. Setelah panitia terbentuk, pada tahun 1907 hingga 1911 Borobudur direstorasi besar-besaran. Pimpinan restorasi tersebut adalah Ir. Theodorus van Erp, seorang ahli teknik bangunan Genie Militer dengan pangkat letnan satu yang kemudian tertarik untuk meneliti dan mempelajari seluk-beluk Candi Borobudur, mulai dari bentuk bangunan hingga falsafah dan ajaran-ajaran yang dikandungnya. Bahkan, ia sempat melakukan studi banding selama beberapa tahun di India dan Sri Lanka untuk melihat susunan bangunan stupa Sanchi di Kandy dan membandingkannya dengan Borobudur.

Hasil kerja panitia yang dipimpin oleh Theodorus van Erp sebenarnya memuaskan, namun karena karena proses alam yang tidak bisa dicegah (hujan dan panas), maka bangunan candi menjadi rusak kembali dan bahkan ada beberapa bagiannya yang mulai miring, renggang dan amblas. Untuk itu, pada tahun 1926 pemerintah Hindia Belanda memugarnya kembali. Sayangnya, pada tahun1940 terjadi krisis malaise dan Perang Dunia II sehingga proses pemugaran Borobudur terpaksa dihentikan.

Setelah Indonesia merdeka, pada tahun 1956 pemerintah meminta bantuan UNESCO untuk meneliti sebab-sebab kerusakan Borobudur. Usai diteliti oleh seorang utusan UNESCO dari Belgia yang bernama Dr. C. Coremans, pada konferensi-15 di Perancis tahun 1968 UNESCO setuju untuk memberi bantuan bagi pemugaran Borobudur. Pemerintah Indonesia kemudian membentuk International Consultative Committee (badan pemugaran Borobudur) yang diketuai oleh Prof. Ir. Roosseno. Selanjutnya, pada tahun 1972 UNESCO mengucurkan dana sebesar 5 juta dollar Amerika sebagai biaya pemugaran Borobudur. Sisanya sebanyak 2,750 juta dollar lagi berasal dari pemerinah Indonesia.

Pemugaran Candi Borobudur dimulai pada tanggal 10 Agustus 1973 yang peresmian pemugarannya dilakukan oleh Presiden Soeharto. Pemugaran tersebut berlangsung hingga tahun 1984 dengan hasil yang hampir sempurna. Namun, satu tahun kemudian terjadi serangan bom yang dilakukan oleh kelompok Islam ekstrem yang dipimpin oleh Habib Husein Ali Alhabsyi. Serangan itu membuat beberapa stupa pada candi harus diperbaiki. Dan, pada tahun 1991 Candi Borobudur ditetapkan oleh UNESCO sebagai Warisan Dunia.

Data Bangunan

Candi Borobudur terbuat dari 2 juta potongan batu berukuran rata-rata 25x10x15 sentimeter dengan tinggi 34,5 meter[1]. Bangunannya berbentuk punden berundak berukuran 123x123 meter yang terdiri dari enam tingkat berbentuk bujur sangkar, tiga tingkat berbentuk lingkaran dan sebuah stupa utama sebagai puncaknya yang menghadap ke arah barat. Setiap tingkatnya melambangkan tahapan kehidupan manusia hingga mencapai Buddha, sesuai dengan mashab Mahayana.

Bagian kaki candi melambangkan Kamadhatu, yaitu dunia yang masih dikuasai oleh “kama” atau “nafsu rendah”. Bagian ini sebagian besar tertutup oleh tumpukan batu yang diduga dibuat untuk memperkuat konstruksi candi. Pada bagian yang tertutup struktur tambahan ini terdapat 160 panel cerita Karmawibhangga. Cerita Karmawibhangga memberi gambaran tentang segala perbuatan manusia beserta ganjaran yang akan diberikan bagi perbuatan-perbuatan tersebut dalam sebuah lingkaran lahir-hidup-mati (samsara) yang tidak pernah berakhir.

Sebagai catatan, setiap panel pada Candi Borobudur bukanlah merupakan sebuah cerita serial, melainkan masing-masing menggambarkan suatu cerita yang mempunyai korelasi sebab-akibat. Cara membaca panel-panel relief tersebut sesuai dengan arah jarum jam (mapradaksina[2]) yang dimulai dari pintu gerbang sisi timur di setiap tingkatnya dan berakhir di sebelah kanan pintu gerbang.

Empat tingkat di atas kaki candi dinamakan Rupadhatu yang berarti manusia yang telah dapat melepaskan diri dari hawa nafsu, tetapi masih terikat oleh rupa dan bentuk. Relief-relief yang terdapat pada bagian Rupadhatu ini diantaranya adalah: (a) Laitawistara yang merupakan penggambaran riwayat Sang Buddha yang dimulai dari turunnya Sang Buddha dari sorga Tusita dan berakhir dengan wejangan pertamanya di Taman Rusa dekat Kota Banaras; (b) Jataka dan Awadana. Jataka adalah cerita tentang Sang Buddha sebelum dilahirkan sebagai Pangeran Siddharta.

Isinya merupakan penonjolan perbuatan baik yang membedakan Sang Bodhisattwa dari makhluk lain. Sedangkan, Awadana pada dasarnya hampir sama dengan Jataka, namun pelakunya bukan Sang Bodhisattwa; dan (c) Gandawyuha yaitu cerita tentang Sudhana yang berkelana tanpa mengenal lelah dalam usahanya mencari “pengetahuan tertinggi tentang kebenaran sejati”. Penggambaran cerita Sudhana ini didasarkan pada kitab suci Buddha Mahayana yang berjudul Gandawyuha dan untuk bagian penutupnya berdasarkan kitab Bhadracari. Sebagai catatan, selain relief pada bagian Rupadhatu ini juga terdapat patung-patung Buddha yang diletakkan terbuka pada ceruk-ceruk dinding di atas ballustrade atau selasar.

Mulai lantai kelima hingga ketujuh dindingnya tidak berelief dan lantainya berbentuk lingkaran. Tingkatan ini dinamakan Arupadhatu yang berarti tidak berupa atau tidak berwujud. Arupadhatu melambangkan manusia yang telah terbebas dari nafsu, rupa dan bentuk, namun belum mencapai nirwana. Patung-patung Buddha yang berada di bagian Arupadhatu ini ditempatkan di dalam stupa yang berlubang-lubang seperti kurungan.

Tingkat paling atas disebut Arupa yang melambangkan ketiadaan wujud untuk mencapai nirwana. Di tempat ini hanya terdapat sebuah stupa besar tanpa diberi “kurungan berlubang”. Pada stupa besar tersebut pernah ditemukan patung Buddha yang tidak sempurna atau disebut juga unfinished Buddha, yang dahulu dianggap sebagai patung Adibuddha.

Namun, setelah diadakan penelitian lebih lanjut, para arkeolog berpendapat bahwa tidak pernah ada patung pada stupa utama. Patung yang tidak selesai itu diperkirakan merupakan patung yang tidak sempurna yang ditinggalkan begitu saja, sebab ada kepercayaan bahwa patung yang salah dalam proses pembuatannya tidak boleh dirusak. Jenis-jenis patung yang tidak sempurna ini banyak ditemukan di sekitar candi pada saat diadakan eskavasi.

Sumber:
http://id.wikipedia.org
http://www.yogyes.com
http://ariesaksono.wordpress.com
http://navigasi.net

[1] Tinggi bangunan sebelumnya adalah sekitar 42 meter, namun setelah direnovasi tingginya menjadi 34,5 meter karena tingkat yang paling bawah digunakan sebagai penahan.

[2] Mapradaksina berasal dari bahasa Sansekerta “daksina” yang artinya “timur”.

Batik-Tulis Pekalongan (Provinsi Jawa Tengah)

Batik-Tulis Pekalongan (Provinsi Jawa Tengah)
Pengantar

Batik adalah suatu hasil karya yang tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia. Di berbagai wilayah Indonesia banyak ditemui daerah-daerah perajin batik. Setiap daerah pembatikan mempunyai keunikan dan kekhasan tersendiri, baik dalam ragam hias maupun tata warnanya. Dan, salah satu daerah itu adalah Kabupaten Pekalongan. Batik di Pekalongan dapat dikategorikan sebagai batik pesisir yang mempunyai ciri khas pada motif kain hiasnya yang bersifat naturalis dan kaya warna. Ciri khas inilah yang memberikan identitas tersendiri bagi batik-tulis Pekalongan yang berbeda dengan batik lainnya, seperti batik-tulis Yogya atau Solo.

Asal Usul

Konon, asal usul batik Pekalongan sudah ada sejak sekitar tahun 1800-an. Hal ini diperkuat oleh data yang tercatat di Deperindag yang menyatakan bahwa pada tahun 1802 telah ada batik Pekalongan untuk bahan baju yang bermotif pohon kecil.

Namun perkembangan yang signifikan diperkirakan baru terjadi pada tahun 1925-1839 setelah adanya perang besar di Kerajaan Mataram yang sering disebut dengan perang Diponegoro atau perang Jawa. Dalam perang tersebut banyak dari para bangsawan keraton pergi meninggalkan kerajaan. Mereka menyebar ke daerah-daerah lain di timur Pulau Jawa seperti Mojokerto, Tulungagung, Gresik, Surabaya dan Madura. Dan, ada pula yang menyebar ke arah barat dari Kerajaan Mataram seperti Banyumas, Kebumen, Tegal, Cirebon, dan Pekalongan. Di tempat-tempat tersebut mereka tidak hanya menghindar dari serangan Belanda, melainkan juga mengembangkan kesenian yang dahulu hanya ada di lingkungan keraton, yaitu membatik.

Peralatan dan Bahan

Peralatan yang digunakan untuk membuat batik-tulis diantaranya adalah: (1) wajan kecil terbuat dari logam atau tanah liat yang digunakan sebagai tempat untuk memanaskan malam (lilin) supaya cair; (2) anglo, untuk memanaskan malam dengan bara api dari arang; (3) tepas (kipas), untuk memperoleh angin agar bara api tetap menyala; (4) gawangan, untuk menempatkan atau membentangkan mori yang akan dibatik; (5) kowolan atau kuas bambu yang ujungnya diikat dengan kain tebal untuk mengalasi bidang yang luas; (6) taplak, untuk menutup paha pembatik agar tidak terkena tetesan malam pada saat canting ditiup; (5) bandhul, untuk menahan kain agar tidak bergerak-gerak ketika dilukis; (6) uthik, untuk mengais arang; (7) canting[1] dengan berbagai macam ukuran sebagai alat untuk mencurahkan malam cair ke dalam mori yang digambari; (10) ganden (palu kayu), untuk memukuli kain mori yang akan dibatik agar lemas dan memudahkan pembatik dalam proses pembuatannya; dan (11) malam atau lilin untuk menutup bagian-bagian tertentu dari kain yang tidak diwarnai.

Bahan dasar untuk membuat batik tulis di daerah Pekalongan dapat dibagi menjadi dua, yaitu: bahan yang terbuat dari kapas dan bahan sutera. Bahan yang terbuat dari kapas atau biasa disebut mori/muslin dapat dikategorikan lagi menjadi tiga bagian yaitu: (1) mori muslin yang digunakan untuk jenis batik halus atau batik tulis; (2) mori mentah yang digunakan untuk batik cap; dan (3) mori kasar yang hampir tidak pernah digunakan untuk membatik. Sedangkan bahan yang terbuat dari sutera juga dikategorikan lagi menjadi lima bagian, yaitu: (1) ciuk pik; (2) ciuk cit; (3) ciuk lak; (4) ciuk poa; dan (5) ciuk si.

Selain bahan dasar yang berupa kain, ada pula bahan-bahan yang digunakan sebagai pewarnanya yang dapat berupa zat kimia maupun pewarna alami seperti: nila Jawa, nila werdi (indigo kering yang dibuat oleh pabrik-pabrik Eropa), mengkudu atau Modinda Tintoia Roxb (untuk membuat warna kuning dan merah), jerek atau Fasciculata Zoll, soga (Peltophormn Ferrugineum Benth), tegerang (Cudrania Javanensis Trecul), kayu nangka, kunyit, temulawak, gondorukem, damar dan lain sebagainya.

Proses Pembuatan Batik Tulis Pekalongan

Tahap-tahap pembuatan batik-tulis di Pekalongan adalah sebagai berikut. Sebelum kain mori dibatik, biasanya dilemaskan. Caranya adalah dengan merendam mori dalam air selama satu malam, kemudian dicuci selama ¼ jam dan direbus dalam air kanji atau tajin (air rebusan beras yang kadang diberi campuran daun bambu dan sedikit gamping). Cara ini disebut sebagai nganji atau nyekuli.

Setelah dikanji, kain lalu dikemplong, yaitu digulung kemudian diletakkan di atas papan atau tempat yang datar dan dipukuli dengan ganden (palu kayu). Proses menganji dan mengemplong ini dilakukan agar cairan malam yang nantinya digoreskan diatas kain tidak terlalu meresap ke dalam serat tenunan. Dengan demikian malam dapat dengan mudah dihilangkan.

Sebagai catatan, apabila kain yang akan digunakan adalah kain sutera, maka proses pengemplongan, pengetelan, dan ngusun tidak ada. Kain hanya dicuci bersih dan dijemur kering, kemudian dikanji. Penganjian pada sutera harus lebih hati-hati dari pada mori, karena sutera bersifat prangpang atau jarang serat-seratnya. Apabila penganjian ini kurang baik, maka sulit untuk membatik diatasnya.

Setelah kain menjadi lemas, maka tahap berikutnya adalah ngengrengi dan nerusi, yaitu membuat pola pada mori dengan menggunakan malam. Setelah pola terbentuk, tahap selanjutnya adalah ngiseni, yakni menggambar di sebalik mori sesuai dengan pola. Kegiatan ini disebut nembusi. Setelah itu, nemboki atau mbiriki yaitu menutup bagian yang harus tetap putih. Tahap selanjutnya adalah medel atau nyelup untuk memberi warna putih supaya hasilnya sesuai dengan yang diinginkan.

Proses medel dilakukan beberapa kali agar warna putih menjadi lebih pekat. Selanjutnya, ngerok yaitu menghilangkan lilin klowongan agar jika disoga bekasnya berwarna coklat. Alat yang digunakan untuk ngerok adalah cawuk yang terbuat dari potongan kaleng yang ditajamkan sisinya. Setelah dikerok, kemudian dilanjutkan dengan mbironi. Dalam proses ini bagian-bagian yang ingin tetap berwarna biru dan putih ditutup malam dengan menggunakan canting khusus agar ketika disoga tidak kemasukan warna coklat. Setelah itu, dilanjutkan dengan nyoga, yakni memberi warna coklat dengan ramuan kulit kayu soga, tingi, tegeran dan lain-lain.

Untuk memperoleh warna coklat yang matang atau tua, kain dicelup dalam bak berisi ramuan soga, kemudian ditiriskan. Proses nyoga dilakukan berkali-kali dan kadang memakan waktu sampai beberapa hari. Namun, apabila menggunakan zat pewarna kimia, proses nyoga cukup dilakukan sehari saja. Proses selanjutnya yang merupakan tahap akhir adalah nglorot, yaitu membersihkan malam.

Caranya, kain mori tersebut dimasukkan ke dalam air mendidih yang telah diberi air kanji supaya malam tidak menempel kembali. Setelah malam luntur, kain mori yang telah dibatik tersebut kemudian dicuci dan diangin-anginkan supaya kering. Sebagai catatan, dalam pembuatan satu potong batik biasanya tidak hanya ditangani oleh satu orang saja, melainkan beberapa orang yang tugasnya berbeda.

Motif Ragam Hias Batik Pekalongan

Kekayaan alam Kabupaten Pekalongan sangat mempengaruhi terciptanya ragam hias dengan pola-pola yang mengagumkan. Sekalipun ragam hiasnya tercipta dari alat yang sederhana dan proses kerja yang terbatas, namun hasilnya merupakan karya seni yang amat tinggi nilainya. Jadi, kain batik bukanlah hanya sekedar kain, melainkan telah menjadi suatu bentuk seni yang diangkat dari hasil cipta, rasa dan karsa pembuatnya. Motif-motif ragam hias biasanya dipengaruhi dan erat kaitannya dengan faktor-faktor: (1) letak geografis; (2) kepercayaan dan adat istiadat; (3) keadaan alam sekitarnya termasuk flora dan fauna; dan (4) adanya kontak atau hubungan antardaerah penghasil batik; dan (5) sifat dan tata penghidupan daerah yang bersangkutan.

Beberapa nama ragam hias atau motif batik Pekalongan antara lain: (1) jlamprangan (motif geometris sejenis nitik yang dikembangkan oleh pembatik keturunan Arab); (2) semen (motf berbentuk tumbuhan atau satwa); (3) encim (motif batik yang tatawarnanya banyak dipengaruhi oleh warna-warna khas Cina seperti: porselin, famille rose, famile verte, dll); (4) Sam Pek Eng Tay (motif ini terdiri dari corak buketan dan tersusun dalam dua bagian yang berbeda baik ragam hias maupun warnanya); (5) encim cempaka mulya (batik ini mempunyai ragam hias parang sebagai latarnya dan bunga-bunga kecil yang mendominasi warna biru, merah dan kuning); (6) encim pagi sore (motif ini ragam hia buketannya mewarnai seluruh bidang yang pola bagian pinggirnya berbeda posisi); (7) motif-motif yang dipengaruhi oleh para pendatang Belanda seperti: (bunga krisan, buah anggur, kartu bridges, cupido, kompeni, dan Cinderella); dan (8) motif-motif batik semarangan, yaitu kembang cengah, grindilan, dan lain sebagainya.

Nilai Budaya

Batik-tulis yang diproduksi oleh para perajin di Pekalongan jika dicermati, di dalamnya mengandung nilai-nilai yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari bagi masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai itu antara lain: keindahan (seni), ketekunan, ketelitian, dan kesabaran.

Nilai keindahan tercermin dari motif ragam hiasnya yang dibuat sedemikian rupa, sehingga memancarkan keindahan. Sedangkan, nilai ketekunan, ketelitian, dan kesabaran tercermin dari proses pembuatannya yang memerlukan ketekunan, ketelitian, dan kesabaran karena tanpa itu tidak mungkin untuk menghasilkan sebuah batik tulis yang bagus. (Pepeng)

Sumber:

Lestariningsih, Amurwani Dwi. 2000. Mengenal Batik Pekalongan. Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan Nasional Proyek Pengembangan Media Kebudayaan.

Oni. 2005. “Batik Yogya Terancam Batik Solo dan Pekalongan”, Kompas Edisi Yogya Jumat, 6 Mei.

http://www.batikmarkets.com


http://alkatro.blogspot.com


http://navigasi.net


[1] Di daerah Pekalongan terdapat tujuh macam canting, yaitu: (1) canting rengseng dan terusan, untuk membuat garis-garis pertama pada batik tulis; (2) canting seret dengan 2 lubang mulut untuk menarik dua garis; (3) canting cecek telu untuk membuat tiga titik; (4) canting prapatan, untuk membuat empat titik; (5) canting perliman, untuk membuat lima titik; (6) canting cecek pitu, untuk membuat tujuh titik; dan (7) canting popokan yang digunakan untuk membeboki bagian kain yang harus tetap berwarna putih.

Upacara masa kehamilan pada Suku Bangsa Nuaulu (Maluku)

Upacara masa kehamilan pada Suku Bangsa Nuaulu (Maluku)
1. Pengantar
Nuaulu adalah salah satu sukubangsa yang ada di Provinsi Maluku, Indonesia. Mereka mendiami salah satu pulau yang tergabung dalam provinsi tersebut, yaitu Pulau Seram yang termasuk dalam wilayah Maluku Tengah. Di kalangan mereka ada suatu tradisi yang termasuk dalam upacara lingkaran hidup individu, yaitu upacara yang berkenaan dengan masa kandungan seseorang apabila telah mencapai usia sembilan bulan.

Kehamilan bagi masyarakat Nuaulu dianggap sebagai suatu peristiwa biasa, khususnya masa kehamilan seorang perempuan pada bulan pertama hingga bulan kedelapan. Namun pada saat usia kandungan seorang perempuan telah mencapai sembilan bulan, barulah mereka akan mengadakan suatu upacara. Upacara baru diadakan pada usia kandungan telah mencapai sembilan bulan karena masyarakat Nuaulu mempunyai anggapan bahwa pada saat usia kandungan seorang perempuan telah mencapai 9 bulan, maka pada diri perempuan yang bersangkutan banyak diliputi oleh pengaruh roh-roh jahat yang dapat menimbulkan berbagai bahaya gaib. Bukan saja bagi dirinya sendiri dan anak yang dikandungnya, tetapi juga orang lain di sekitarnya, khususnya kaum laki-laki. Dan, untuk menghindari pengaruh roh-roh jahat tersebut, si perempuan hamil perlu diasingkan dengan menempatkannya di posuno.

Selain itu mereka juga beranggapan bahwa pada hakekatnya kehidupan seorang anak manusia itu baru tercipta atau baru dimulai sejak dalam kandungan yang telah berusia 9 bulan. jadi dalam hal ini (masa kehamilan 1-8 bulan) oleh mereka bukan dianggap merupakan suatu proses dimulainya bentuk kehidupan.

2. Waktu, Tempat, Pemimpin dan Pihak-pihak yang Terlibat dalam Upacara
Penyelenggaraan upacara kehamilan diadakan ketika usia kandungan seorang perempuan telah mencapai sembilan bulan. Patokan yang dipakai untuk mengetahui usia kandungan seorang perempuan adalah dengan meraba bagian perut perempuan tersebut yang dilakukan oleh dukun beranak (irihitipue). Apabila irihitipue menyatakan bahwa usia kandungan perempuan tersebut telah mencapai 9 bulan, maka ia akan mengisyaratkan kepada seluruh perempuan dewasa anggota kerabat perempuan tersebut untuk segera mempersiapkan perlengkapan, peralatan dan bermusyawarah untuk menentukan waktu penyelenggaraan upacara (dapat pagi, siang atau sore hari).

Musyawarah penentuan hari oleh perempuan dewasa anggota kerabat perempuan yang sedang mengandung itu dinamakan mawe. Jadi, penentuan kapan akan dilaksanakan upacara kehamilan tergantung dari hasil mawe tersebut. Sebagai catatan, upacara masa kehamilan tidak boleh dilaksanakan pada malam, karena malam hari dianggap saat-saat bergentayangan berbagai jenis roh jahat yang dapat menyusup ke tubuh ibu maupun sang jabang bayinya, sehingga bisa terjadi sesuatu yang tidak diinginkan (buruk) pada anak yang bersangkutan. Sedangkan tempat pelaksanaan upacara kehamilan sembilan bulan dilakukan di rumah perempuan yang sedang mengandung dan di posuno.

Penyelenggaran upacara kehamilan sembilan bulan melibatkan di dalamnya pemimpin upacara dan peserta upacara. Pemimpin upacara adalah irihitipue (dukun beranak). Irihitipue adalah suatu gelar khusus bagi seorang perempuan yang bertugas membantu dalam proses melahirkan. Dengan kata lain, irihitipue dapat disebut sebagai bidan tradisional atau dukun bayi. Selain sebagai dukun, irihitipue juga dianggap sebagai orang yang berpengetahuan tentang hal-hal gaib yang berkisar di sekitar dunia roh. Oleh karena itu, dia biberi hak dan tanggung sebagai penyelenggara teknis upacara bagi perempuan, baik upacara haid pertama, kehamilan, maupun upacara setelah melahirkan.

Sedangkan peserta upacara adalah para perempuan dewasa dari soa (kelompok kerabat) perempuan yang hamil dan suaminya. Mereka akan mengikuti prosesi upacara, baik di rumah maupun di posuno. Selain itu mereka jugalah yang menyediakan segala perlengkapan, menentukan waktu akan dilangsungkannya upacara dan sebagai saksi pelaksanaan upacara.

3. Peralatan
Peralatan yang perlu dipersiapkan dalam upacara kehamilan pada suku bangsa Nuaulu hanyalah sebuah posuno. Posuno adalah bangunan yang dibuat khusus untuk pelaksanaan upacara yang didirikan di tengah-tengah hutan. Tujuan dari pendirian bangunan tersebut adalah untuk pengasingan bagi kaum perempuan apabila akan melahirkan dan bagi perempuan yang sedang haid. Kaum laki-laki tidak boleh mendekati bangunan ini. Hal itu disebabkan adanya kepercayaan bahwa jika ada laki-laki yang mendekatinya, maka laki-laki tersebut akan dihinggapi oleh kekuatan gaib yang bersifat destruktif.

4. Jalannya Upacara

Ketika seorang perempuan yang masa kehamilannya telah mencapai 9 bulan, maka ia akan diantar oleh irihitipue (dukun beranak) dan kaum perempuan yang ada di dalam rumah atau tetangga yang telah dewasa menuju ke posuno. Pada waktu perempuan tersebut berada di depan pintu posuno, irihitipue membancakan mantra-mantra yang berfungsi sebagai penolak bala. Mantra tersebut dibaca oleh irihitipue dalam hati (tanpa bersuara) dengan tujuan agar tidak dapat diketahui oleh orang lain, karena bersifat sangat rahasia. Hanya irihitipue dan anggota keluarga intinya saja yang mengetahui mantra tersebut.

Selesai membaca mantra, perempuan hamil tersebut diantar masuk ke dalam posuno. Rombongan kemudian pulang meninggalkan wanita tersebut. Dia setiap saat dikunjungi oleh irihitipue untuk memeriksa keadaan dirinya. Semua keperluan wanita hamil ini dilayani oleh wanita-wanita kerabatnya. Sebagai catatan, dia akan tetap berdiam disitu tidak hanya sampai selesainya upacara kehamilan 9 bulan, tetapi sampai tiba saat melahirkan hingga 40 hari setelah melahirkan.

Setelah si perempuan hamil berada di posuno, maka pihak keluarga akan memberitahukan kepada seluruh perempuan dewasa dari kelompok kerabat (soa) perempuan hamil tersebut dan dari kelompok kerabat suaminya untuk berkumpul di rumah perempuan tersebut dan selanjutnya pergi menuju ke posuno untuk mengikuti upacara masa hamil sembilan bulan. Sebelum mereka menuju ke posuno, para perempuan dewasa tersebut akan berkumpul berkeliling di dalam rumah untuk memanjatkan doa kepada Upu Kuanahatana agar si perempuan yang sedang hamil selalu dilindungi dan terbebas dari pengaruh roh-roh jahat.

Usai memanjatkan doa di dalam rumah, mereka menuju ke posuno bersama-sama dan dipimpin oleh irihitipue. Setelah sampai di posuno, mereka kemudian duduk mengelilingi si perempuan hamil tersebut, sedangkan irihitipue mendekati si perempuan dan duduk di sampingnya. Perempuan hamil tersebut kemudian dibaringkan oleh irihitipue lalu diusap-usap perutnya sambil irihitipue mengucapkan mantra-mantra yang tujuannya adalah untuk memohon keselamatan dan perlindungan dari Upu Kuanahatana. Pada saat irihitipue mengusap-usap perut perempuan hamil tersebut, para kerabatnya yang duduk mengelilingi pun juga memanjatkan doa-doda kepada upu kuanahatana.

Dengan selesainya pembacaan mantra, maka selesailah pula pelaksanaan upacara masa kehamilan sembilan bulan. Para kerabat dan irihitipue kemudian pulang ke rumah masing-masing. Sementara si perempuan hamil tetap tinggal di posuno hingga melahirkan dan 40 hari setelah masa melahirkan. Untuk keperluan makan dan minum selama berhari-hari di posuno, pihak kerabatnya sendiri (soanya) akan selalu mengantarkan makanan dan minuman kepadanya.

5. Nilai Budaya

Ada beberapa nilai yang terkandung dalam upacara masa kehamilan sembilan bulan. Nilai-nilai itu antara lain adalah: kebersamaan, gotong-royong, keselamatan, dan religius.

Nilai kebersamaan tercermin dari berkumpulnya sebagian besar anggota keluarga dan masyarakat dalam suatu tempat (pada saat acara pesta suu anaku) untuk makan bersama. Ini adalah wujud kebersamaan dalam hidup bersama di dalam lingkungannya. Dalam hal ini, kebersamaan sebagai komunitas yang mempunyai wilayah, adat-istiadat dan budaya yang sama.

Nilai kegotong-royongan tercermin dari keterlibatan berbagai pihak dalam penyelenggaraan upacara. Mereka saling bantu demi terlaksananya upacara. Dalam hal ini ada yang membantu menyiapkan makanan dan minuman bagi perempuan yang hamil dan menjadi pemimpin upacara.

Nilai keselamatan tercermin dalam adanya kepercayaan bahwa pada masa usia kehamilan yang telah mencapai sembilan bulan adalah masa yang dianggap kritis bagi seorang perempuan, karena pada masa inilah ia dan bayi yang dikandungkan rentan terhadap bahaya-bahaya gaib yang berasal dari roh-roh jahat yang dapat berakibat buruk pada keselamatan dirinya sendiri maupun bayinya. Untuk mengatasi gangguan-gangguan roh-roh halus tersebut, maka perlu diadakan suatu upacara untuk mencari keselamatan keselamatan pada tahap peralihan dari masa di dalam kandungan menuju ke kehidupan di dunia.

Nilai religius tercermin dalam doa bersama yang dilakukan oleh kelompok kerabat perempuan, baik sebelum berangkat ke posuno maupun pada saat berlangsungnya upacara. Tujuannya adalah agar sang bayi mendapatkan perlindungan dari Upu Kuanahatana dan roh-roh para leluhur. (ali gufron)

Sumber:
Suradi Hp, dkk. 1982. Upacara Tradisional Daerah Maluku. Ambon: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

www.kongresbud.budpar.go.id

www.bakti.org

www.ensiklopedia.net
 

Site Info

Followers